Ritual dan Balas Dendam Masih Berkuasa di Lembah Omo Etiopia

Oleh: Neil Shea

Di Lembah Omo Etiopia itu, ritual dan balas DENDAM masih BERKUASA. Tetapi, perubahan akan datang, dalam senja.


Dunga Nakuwa menutupi wajah dengan kedua tangannya dan mengingat suara ibunya. Ibunya sudah hampir dua tahun meninggal, tetapi bagi suku Dunga, orang mati tidak pernah terpisah jauh. Di pedesaan, mereka dikubur tidak jauh di bawah pondok orang hidup, terpisah dari perapian dan selimut kulit hewan hanya oleh tanah kering nan gersang yang tebalnya tak sampai semeter. Mereka juga tetap dikenang. Inilah sebabnya Dunga masih mendengar suara ibunya: Kapan kau akan membalas dendam pada pembunuh kakakmu

Saat masih hidup, ia berulang kali menanyakan hal ini, mengungkit perkara balas dendam pada saat Dunga mencoba melupakannya. Dia menjadi anak tertua setelah kakaknya, Kornan, dibunuh oleh anggota suku musuh. Dia tewas dalam penyergapan, eksekusi terencana.

Ayah Dunga juga dibunuh oleh pendekar dari suku yang sama, dan kewajiban dendam awalnya jatuh di pundak kakaknya. Tetapi, setelah Kornan terbunuh, beban ganda itu beralih ke Dunga. Kaum lelaki dari suku itu, suku Kara, terkenal sebagai penembak jitu. Mereka berhasil memukul mundur invasi suku yang jauh lebih besar dan bersenjata lebih baik, suku Nyangatom. Di kedua suku itu, pria yang berhasil membunuh musuh dihiasi dengan luka khusus yang ditorehkan di bahu atau perutnya. Jika ada kerabatnya yang terbunuh, pria di kedua suku itu akan menuntut balas. Dan karena itulah, tersirat dalam pertanyaan ibunya, Dunga mendengar pertanyaan lain: Kapan kau akan menjadi lelaki dewasa?

Dunga berperawakan kecil, ramping, dan belum 30 tahun. Tangannya lembut akibat tahun-tahun yang dihabiskannya membaca buku, bukan tinggal di hutan. Kami duduk di restoran kecil di kota yang berjarak beberapa hari jalan kaki dari kampung halamannya. Setelah mengetahui bahwa saya juga memiliki saudara, dia bertanya, “Apa yang akan Anda lakukan?” Di Barat urusan balas dendam diserahkan ke pengadilan. Tetapi, di pelosok Etiopia ini, hampir tak dikenal sejarah sistem peradilan. Yang ada hanyalah tuntutan dari yang telah mati.

Dunga lahir di Dus, desa berisi pondok dari kayu-dan-rumput yang terletak di atas tebing tinggi di pinggir Sungai Omo. Dari dataran tinggi tengah, sungai yang lebar dan dalam mengalir cepat ke arah perbatasan barat daya negara itu, masuk ke Danau Turkana di Kenya. Dalam perjalanan 800 kilometernya, sungai itu berliku-liku melalui jurang-jurang batu gunung berapi dan saluran lumpur purba. Di dekat perbatasan Kenya, Sungai Omo membentuk kelokan saat daerah itu melandai, dan petak hutan tumbuh di sepanjang tepi sungai. Makhluk sungai, termasuk buaya dan kuda nil, beranak-pinak di sini. Lanskap itu dipenuhi banyak suku, di antaranya Kara, Mursi, Hamar, Suri, Nyangatom, Kwegu, dan Dassanech, dengan penduduk sekitar 200.000 jiwa. Gembala membawa ternaknya menembus hutan, dan petani mengarungi hulu dan hilir dengan kano seadanya. Tergantung musim, bantaran bisa menguning keemasan oleh merang pascapanen, atau diselimuti warna hijau lembap tanaman baru. Untuk mencapai Dus, dibutuhkan waktu tiga jam perjalanan truk dari jalan terdekat, dan pada musim hujan terisolasi oleh lautan lumpur. Sebagaimana banyak permukiman di tepi Sungai Omo, desa itu terdiri atas beberapa pondok, sementara kandang kambing dan lumbung terletak di pinggiran, semuanya luntur oleh matahari dan diliputi debu.

Sapi dan kambing adalah harta keluarga yang paling berharga di sini, tetapi tanamanlah, yang subur berkat Sungai Omo, yang menyediakan kebutuhan penduduk Dus dan desa lainnya. Setelah banjir musiman Sungai Omo merendam dan menyuburkan kembali bantaran sungai, petani Kara menugal lumpur hitam itu dan memasukkan biji sorgum atau jagung. Berkat perilaku sungai yang dapat diduga, sekitar 2.000 orang Kara dapat hidup tanpa perlu berpindah-pindah seperti beberapa tetangga mereka, yang harus terus-menerus menggembalakan ternak ke padang rumput baru. Nama desa itu—Dus—berarti, kurang lebih, “Aku telah melihat tempat-tempat lain, tetapi di sini baik. Aku akan tinggal.”

Selama sekian generasi, suku-suku Sungai Omo terisolasi dari dunia luar oleh pegunungan, sabana, dan status unik Etiopia sebagai satu-satunya negara Afrika yang tidak pernah dijajah oleh Eropa. Pada akhir 1960-an dan ’70-an, antropolog mulai menyadari makna hal ini—orang yang tinggal di dekat sungai secara umum lolos dari kesalahan kolonial dan konflik yang mencabik-cabik masyarakat lain. Suku-suku itu tetap utuh, masih berpindah, berperang, dan berdamai dengan cara yang telah menghilang hampir di semua tempat lain. Gaya hidup Afrika ini masih muncul di cakram hiasan bibir dari tanah liat yang dipakai sebagai lambang kecantikan oleh wanita suku Mursi atau dalam pertandingan duel musiman suku Suri, yang memakai perisai kulit kambing dan bertarung dengan tongkat panjang. Masih ada pula ritual suku Hamar yang perempuannya meminta dicambuk sampai berdarah, dan ada pula upacara inisiasi lompat-ternak, yaitu anak laki-laki berlari di atas punggung ternak untuk membuktikan bahwa mereka siap memasuki kedewasaan.

Kini Lembah Omo merupakan tujuan wisatawan kaya yang menempuh perjalanan jauh nan berat untuk menyaksikan ritual tersebut—bermobil-mobil wajah berkulit putih, sebagian besar dari Eropa, berharap melihat sesuatu dari Afrika yang ada dalam bayangan Barat, binatang liar, wajah bercat, dan tarian.Namun, wilayah Omo, yang merupakan salah satu lanskap budaya Afrika yang paling utuh, kini sedang berubah. Hewan buruan besar sulit didapatkan, karena nyaris habis diburu dengan senjata yang mengalir masuk dari peperangan di sepanjang perbatasan Sudan atau Somalia. Organisasi santunan mengirim makanan, membangun sekolah, dan merencanakan proyek irigasi. Pemerintah, yang boleh dibilang tak mengacuhkan tempat ini selama beberapa generasi, sekarang berupaya memodernkan suku-suku Omo, dan beberapa pejabat berbicara seolah-olah telah ada jadwal pasti tentang waktu dan cara penggantian gaya hidup yang lama tersebut. Kebiasaan balas dendam, seperti yang membebani Dunga Nakuwa, diharapkan akan segera punah.

Ternaklah yang mengungkapkan rahasia Dunga. Ketika ia menghilang, meninggalkan ternak keluarganya di semak-semak, kawanan hewan itu berputar dan merumput ke arah pulang. Di desa, kakak Dunga, Kornan, terkejut saat hewan-hewan itu kembali begitu cepat—tanpa Dunga. Ini terjadi pada akhir 1980-an atau awal 1990-an. Singa, macan tutul, dan dubuk memenuhi sabana. Gajah dan kerbau kadang-kadang berderap keluar dari semak-semak. Suku-suku musuh juga berpatroli di sana: Suku Nyangatom, yang telah membunuh ayah mereka, telah merangsek ke daerah itu dengan bersenjatakan senapan otomatis. Sejak pembunuhan ayah mereka, Kornan telah mengambil alih urusan keluarga, tetapi ia tidak mengkhawatirkan keselamatan adiknya itu. Dia dapat menduga ke mana Dunga pergi, dan dia sangat marah.

Kedua saudara itu tumbuh sebagaimana anak laki-laki Kara pada umumnya—mengejar binatang di semak dengan busur dan anak panah. Mereka ditugasi menjaga ladang sorgum, mengatapel burung yang mencuri dengan peluru tanah. Mereka belajar berwaspada terhadap buaya pada musim hujan, ketika Sungai Omo meluap. Dan mereka mempelajari dasar tanggung jawab kaum lelaki: memelihara ternak.

Di sepanjang Sungai Omo, kekayaan dan martabat diukur dengan sapi dan kambing. Tanpa hewan itu, seorang laki-laki dianggap miskin dan, di kebanyakan suku, tidak bisa menikah karena tak mampu menawarkan mahar. Pada masa kelaparan, binatang dapat dijual untuk membeli makanan atau diambil susunya. Menelantarkan ternak sama seperti membuang tabungan keluarga ke dalam sungai.

Kornan memilih sebatang tongkat kecil, kemudian bergegas ke sekolah terdekat dan menemukan Dunga di sana. Kedua saudara ini akrab, tapi ini? Mengabaikan ternak demi sekolah? Kornan memukuli Dunga sampai anak itu menangis. Keesokan paginya, setelah kesakitan dan dimarahi, Dunga membawa ternaknya ke sungai saat fajar. Tetapi, beberapa hari kemudian dia kabur ke sekolah lagi. Dan Kornan menggebukinya lagi.

“Aku menyayangi Kornan,” ujar Dunga. “Dia seperti ayah bagiku, dia adalah segalanya. Tetapi, aku ingin sekolah.” Pukulan itu membulatkan tekad Dunga, tetapi melunakkan hati Kornan. Dia akhirnya menyadari bahwa hukuman tidak akan menghalangi Dunga. Merekapun membuat kesepakatan. Dunga boleh bersekolah selama nilainya bagus. Jika nilainya turun, dia harus kembali ke hutan menggembalakan ternak. Dunga sangat gembira. Dia melanjutkan ke sekolah asrama di kota terdekat, dan kian lama kian tenggelam dalam dunia yang baru. Dia semakin jarang pulang ke rumah.

Sementara itu, Kornan telah menjadi pemimpin muda yang dihormati. Dia telah memiliki anak-istri, serta dikenal sebagai pemburu tiada tanding. Istri para lelaki lain memberi Kornan peluru dan berkata, ambillah ini dan berburulah bagiku. Tetapi, masih ada tugas membalas dendam atas kematian ayahnya. Saudara, teman, dan sesepuh mendesaknya menyelesaikan masalah itu. Kapan kau akan membunuh pembunuh ayahmu?

Di tengah alam liar, di antara kepulan debu dan suara mesin berat, sebuah bendungan tengah dibangun 515 kilometer di hulu kampung halaman suku Kara. Bendungan ini, dinamai Gilgel Gibe III, akan menjadi salah satu bendungan terbesar di dunia. Bendungan ini akan menjadi waduk air yang sama besarnya, dan airnya akan digunakan untuk menghasilkan listrik hingga 1.870 megawatt yang rencananya akan dijual Etiopia kepada tetangganya yang kekurangan energi, seperti Kenya dan Sudan. Proyek ini baru dijadwalkan selesai pada 2013, tetapi kontrak penjualan telah ditandatangani.

Gibe III akan menghasilkan uang untuk Etiopia dan memproduksi listrik yang sangat dibutuhkan oleh negara yang hanya 33 persen penduduknya menikmati listrik. Tetapi, ini juga akan mengurangi aliran sungai dan mengekang siklus banjir-surut yang justru diandalkan suku-suku yang tinggal di hilir, seperti Kara, Nyangatom, dan lain-lain, untuk menyuburkan tanaman. Suku-suku pribumi tersebut tak memiliki kekuatan untuk menentang proyek yang direstui secara resmi dan bermomentum besar. Banyak yang tidak menyadari bahwa bendungan dapat mengubah kehidupan mereka; sementara banyak pula yang mendukung pemerintah, walaupun tidak sepenuhnya memahami rencana tersebut.

Di desa Dunga, setiap bulan baru, di dekat muara Sungai Omo ke Danau Turkana, orang yang dapat berbicara kepada buaya turun dalam kegelapan untuk melakukan upacara singkat yang melindungi sukunya dari makhluk raksasa yang berkeliaran di Sungai Omo itu. Dia membawa seikat cabang berdaun, mencelupkannya ke air, lalu memercikkannya ke hulu dan hilir, sambil berbicara dengan wewenang yang tidak diberikan oleh manusia.
“Hai, buaya! Dengarkan! Tempat ini milikku, dari ayahku, dari ayah ayahku. Menjauhlah dari sini. Biarkan rakyatku dan ternaknya turun minum, dan biarkan anak-anak berenang. Jika kau mendekat, peluruku akan mengenaimu!”

Dia kemudian meletakkan cabang tersebut di lumpur dan masuk ke dalam air hitam, lalu mandi.
Pria itu mempunyai hubungan khusus dengan reptil purba, sebagaimana ayahnya sebelumnya. Bahkan buaya berbicara kepadanya dalam mimpi.

“Apa yang mereka katakan kepadamu?” tanyaku.
“Bukan urusanmu,” jawabnya.

Apapun yang dikatakan buaya, yang pasti hewan itu mendengarkan, karena sejauh ingatan suku itu, belum pernah ada buaya yang memakan manusia di bawah desa itu. Ramainya anggukan orang-orang tua yang duduk melingkar di bangku kayu mengelilingi kami membuktikan kebenaran fakta ini. “Bagaimana dengan wanita hamil yang terbunuh tahun lalu?”

“Yah. Dia sih tidak mendengarkan.” Orang itu melambaikan tangan ke arah hilir. “Dia terbunuh di sana. Aku tidak melindungi tempat itu.”
Para tetua mengangguk, peringatannya jelas. Wanita ini melanggar batas tanah milik orang lain.

Aku bertanya tentang Gibe III kepada pria itu. Tiba-tiba suasana berubah, seperti yang selalu terjadi apabila saya menyebut soal bendungan. Kerumunan mendekat. Beberapa orang telah mendengar hal ini. Pria itu bertanya, “Apa persisnya bendungan itu?”

Dulu suku Kara menguasai tanah di kedua sisi Sungai Omo, tetapi lambat laun suku Nyangatom mendesak mereka hingga hanya tinggal menguasai tepi timur. Nyangatom, suku seminomaden dari barat daya Etiopia, merupakan salah satu kelompok pertama di wilayah itu yang mendapatkan akses ke senapan otomatis, sebagian besar dari Sudan. Selama tahun 1980-an dan 90-an suku ini memperbesar wilayahnya, menekan suku-suku tetangga, seperti Kara, yang masih membawa tombak. Jumlah populasinya tumbuh.

Namun, suku Kara tidak menyerahkan wilayah begitu saja. Saat Dunga duduk di tahun terakhir sekolah menengah, sebagian besar suku Omo sudah memiliki senjata, dan ketegangan memuncak. Penembak jitu Kara bersembunyi di pepohonan di sepanjang tepi sungai, mengincar orang Nyangatom yang mendekati air. Kadang-kadang sekelompok kecil orang Nyangatom menyerang ke seberang. Terkadang mereka menyeberang dalam kelompok besar. Pada saat inilah Kornan pergi berburu ke hutan bersama sepupunya. Kebanyakan hewan buruan besar sudah dibunuh, tetapi di hutan masih ada kijang, kudu, bushbuck, bahkan gajah di beberapa tempat. Mereka tinggal menguntit melalui semak pohon berduri dan melihat apa yang dapat ditemukan.
Saat para pemburu itu bertemu sekelompok prajurit Nyangatom, meletuslah baku tembak. Kornan menembak perut seorang Nyangatom sebelum mundur, dan orang itu kemudian meninggal. Dia tidak berniat membunuh orang itu, jadi tidak masuk hitungan dalam pembalasan dendam atas pembunuhan ayahnya. Pada saat yang sama, Kornan tahu apa yang telah dimulainya. Dia tahu bahwa sekarang ia akan diburu juga.

Meskipun saling berperang, suku Kara sering membeli amunisi dari Nyangatom. Sulit dijelaskan, tetapi bahkan konflik tidak dapat menghentikan perdagangan yang menguntungkan. Kornan telah memberi uang pembeli peluru kepada seorang lelaki Kwegu, suku kecil yang hidup di kedua sisi sungai. Lelaki Kwegu itu tidak mengantarkan peluru, dan Kornan menjadi marah. Tak berapa lama kemudian si pedagang mengundang Kornan untuk minum kopi di gubuknya di seberang sungai untuk menyelesaikan masalah itu. Kornan mengambil AK-47 dan ia pun menyeberangi sungai cokelat nan lebar itu.

Kornan berada di wilayah musuh, maka ia waspada. Tetapi, dia tidak tahu bahwa pertemuan itu telah diatur oleh adik prajurit yang dibunuhnya di hutan itu. Kornan bertemu dengan pria Kwegu itu di bawah naungan yang terbuat dari cabang kayu. Kopi diseduh dalam gerabah; kedua pria itu mengobrol. Ketika sekelompok orang Nyangatom mendekat dan duduk di dekatnya dan berbasa-basi, Kornan berjaga-jaga, tetapi tidak ada yang terjadi. Hari itu panas, bahkan di tempat teduh sekalipun, dan akhirnya ia santai dan meletakkan senapannya.

Mereka berbicara ngalor-ngidul. Pria Kwegu itu berkata dia hendak mengukir mangkuk dari labu besar. Apakah Kornan mau menolongnya? Walaupun merasa kesal terhadap pria Kwegu ini, Kornan orang yang biasa bertindak. Ia mengambil labu itu dan mulai memotong. Lelaki Kwegu itu berkata dia hendak buang hajat dan merunduk keluar dari naungan. Itulah sinyalnya. Kornan yang terfokus pada labu tidak menyadari hal itu.
Dia tidak memerhatikan ada satu orang Nyangatom yang berdiri dan perlahan-lahan berjalan di belakangnya di luar naungan. Pria itu menembak punggung Kornan sekali, lalu melarikan diri sementara Kornan berdarah di atas tanah berdebu.

Tak lama kemudian berita tentang pembunuhan Kornan pun menyebar. Suku Kara yang marah membanjir menyeberangi sungai, menyerang suku Nyangatom

Teman-teman Kornan membawa mayatnya kembali ke seberang sungai. Malam itu mereka mencari Dunga di kota Dimeka, tetapi orang Kara tidak langsung menyampaikan kabar buruk. Ada masalah, demikian kata mereka berulang-ulang. Engkau harus pulang bersama kami sekarang. Keesokan paginya, ketika mereka mendekati desa Kornan, orang-orang akhirnya memberi tahu Dunga bahwa kakaknya sudah mati.

Mulai saat itu Dunga memikul tanggung jawab atas segalanya—tanah dan ternak keluarganya, kesejahteraan ibunya serta istri dan anak-anak Kornan. Dia bertanggung jawab untuk membalas dendam. Tekanan berat itu membuatnya tidak bisa tidur. Setiap ia kembali ke rumah, balas dendam selalu menunggu, melalui pertanyaan ibunya, melalui sejarah panjang sukunya. Membunuh orang Nyangatom mudah; belantara begitu luas. Tinggal menunggu untuk menyergap di tepi sungai, ketika ternak turun ke sungai untuk minum. Atau di salah satu jalan sepi pada malam hari, dan meninggalkan jasadnya untuk dimakan dubuk. Balas dendam hanya perlu satu peluru. Ya, Tuhan, mengapa Kautimpakan hal ini kepadaku? Dunga merenung.

Dia terpikir untuk putus sekolah tetapi memutuskan untuk tidak melakukannya. Dia sedang kuliah sekarang, dan setelah bertahun-tahun mengenyam pendidikan, yang sebagian besar didasarkan pada pemikiran Barat dan dipengaruhi oleh agama Kristen, Dunga telah berubah. Dalam pakaian dan sepatu kets Baratnya, ia sekarang lebih mirip orang dataran tinggi, anggota salah satu kelompok etnis yang menguasai pemerintahan. Pandangannya juga telah berubah. Ia mulai belajar tentang konsep Barat tentang hukum dan keadilan. Dia dibesarkan dalam budaya yang menganggap pembunuhan itu biasa, tetapi kini dia hidup dalam budaya yang menganggap hal itu tidak bermoral. Balas dendam semakin tidak penting baginya. Dunga menyadari bahwa dia akan selalu menjadi orang Kara, tetapi ia tidak lagi merasa terikat oleh otoritas suku itu.

Orang yang mereka sebut raja duduk di balik pintu pondok besar berdinding lumpur, di atas karung plastik putih dengan lambang USAID pudar. Ini takhta yang tak biasa, yang disumbangkan oleh masyarakat yang jelas tidak menyadari keberadaan sang baginda dan jelas belum pernah mendengar kemampuannya mengendalikan cuaca, binatang, bahkan berkuasa atas kematian. Rambutnya, yang berminyak mentega dan berkilat oleh bubuk mineral, ditata sempurna.

“Jika ada masalah, soal ternak, orang, tanah—saya yang menyelesaikannya,” kata sang raja. Wajahnya penuh keyakinan yang jarang terlihat. “Jika ada masalah dalam kerajaan saya,” katanya, “sayalah solusinya.”

Dari gubuknya jauh di atas Pegunungan Buska, Wangala Bankimaro memerintah sekitar 30.000 anggota suku Hamar. Suku Hamar kebanyakan penggembala, menggiring sapi dan kambing di padang rumput yang luas di sebelah timur Sungai Omo. Mereka juga mengolah petak-petak kecil ladang sorgum dan jagung. Mereka tetangga dan sekutu suku Kara. Dalam lingkungan yang kejam, suku Hamar telah berhasil berkembang, tumbuh menjadi salah satu suku terbesar di kawasan itu. Atas hal ini suku Hamar berterima kasih kepada hujan, yang menghidupkan ternak dan tanaman. Untuk hujan itu, mereka berterima kasih kepada Wangala Bankimaro.

Kaum perempuan Hamar, dengan rambut yang dijalin menjadi kepangan merah berkilau, memberi tahu saya bahwa Wangala bahkan dihormati oleh pemerintah Etiopia. Kaum lelaki Hamar, sambil menyandang senapan di bahu, mengatakan bahwa kutukan Wangala lebih ditakuti daripada peluru. Peluru dapat meleset. Kutukan pasti berarti kematian.

Saat saya menemui Wangala di gubuknya, ia baru saja kembali dari upacara hujan. Upacaranya berhasil. Hujan akan turun, katanya. Dia mengenakan baju kaus, celana pendek putih, dan sandal dari ban bekas.

Aku bertanya kepada raja mengapa, jika ia dapat memanggil hujan, dia tidak melakukannya lebih awal untuk menghindari kekeringan yang mengancam. Dia memandangku dengan ekspresi seorang pria yang menenggang kemauan tamunya.

“Orang tidak datang menemuiku,” katanya. “Mereka tidak berkorban untuk meminta hujan.”
Aturan. Kesalahan protokol. Seperti melanggar wilayah buaya.

Secara perlahan, seiring pemerintah Etiopia memperluas pengaruh dan sistem hukumnya ke kehidupan suku, para pejabat federal mencoba memperoleh dukungan Wangala. Salah satu rencana pemerintah bertujuan menghapuskan yang mereka sebut “kebiasaan adat yang berbahaya. “Ini termasuk, ironisnya, hal yang paling ingin dilihat oleh wisatawan yang berkunjung: ritus mencambuk perempuan atau pertarungan tongkat atau upacara lompat-ternak.

Daftar kebiasaan yang ditargetkan mencakup praktik khitan perempuan (yang tidak dipraktikkan oleh suku Hamar tetapi lazim di seantero Etiopia) dan kebiasaan yang disebut pembunuhan mingi. Mingi adalah semacam nasib buruk. Di bagian selatan Etiopia, banyak suku meyakini bahwa anak yang lahir cacat, gigi atas yang tumbuh sebelum gigi bawah, atau kelahiran di luar nikah merupakan pertanda buruk. Adat mengharuskan anak-anak tersebut dibunuh sebelum mingi menyebar. Saya bertemu dengan seorang wanita Kara yang melahirkan 12 anak sebelum ia dapat dinikahkan; dia mengaku membunuh semua bayinya. Orangtua tidak selalu mau menaati, tetapi tekanan masyarakat sangat kuat. Kadang-kadang anak tersebut ditinggalkan di semak-semak, mulutnya sumpal dengan tanah, kadang-kadang dilemparkan ke dalam sungai.

Suku Kara membahas praktik itu dengan pemerintah dan sebuah LSM yang berupaya menyelamatkan bayi mingi. Tetapi, Wangala telah mengambil keputusan. Belum lama ini, setelah lobi pemerintah yang intensif, dia memutuskan untuk mendukung larangan. “Sekarang tidak boleh ada lagi pembunuhan mingi dalam suku Hamar,” ujar sang raja kepadaku. “Saya telah memutuskan begitu.”

Dia mengatakan hal itu tanpa arogansi. Tradisi, sihir, dan ketakutan dienyahkan. Sayalah solusinya.

Suatu petang Maret lalu, di tanah lapang teduh di atas tebing di pinggir Sungai Omo, sekitar 200 orang suku Nyangatom berkumpul untuk merayakan perdamaian dengan suku Kara. Corengan tanah liat berwarna putih menghiasi tubuh mereka sehingga mirip kerangka pucat berhantu. Di luar lapangan, keratan besar daging sapi dipanggang di sundukan. Di balik api itu, orang dari kedua suku menumpuk senapan otomatis untuk menunjukkan itikad baik dan demi kepraktisan. Mengingat sejarah mereka, lebih baik menjauhkan senjata dari jangkauan.

Seorang tua mondar-mandir di hadapan orang banyak, menggerakkan tangan dan berteriak, cat di kakinya jadi kelabu oleh debu. “Hai, orang Nyangatom! Kalian pasti ingin damai!”
Dia menoleh ke arah hadirin yang lain.

“Hai, orang Kara! Kalian pasti ingin damai! Jangan biarkan ada orang yang menghancurkan kedamaianmu!” teriak sang tetua.
“Jadikanlah!” jawab orang bernyanyi, suara kaum pria terdengar bak guntur menggelegar, kaum perempuan naik-turun bersama berkilo-kilo kalung yang melingkari pundak kurus mereka.
“Jadikanlah! ”

Tak lama kemudian acara menari akan dimulai, dan lapangan itu akan bergetar oleh irama kaki yang menghentak tanah padat. Pada perayaan itu saya bertemu dengan seorang pemuda bernama Ekal, yang baru-baru ini terpilih sebagai pemimpin Nyangatom. Usianya belum 30 dan berpendidikan universitas, seperti Dunga. Ia mengenakan kaus polo kebesaran, celana panjang gombrang, dan topi bisbol yang agak miring. Sementara anggota sukunya menari, semuanya hampir telanjang, Ekal merekam dengan telepon genggamnya. Ia mirip bintang hip-hop yang sedang bersafari.

Ekal mengatakan bahwa masa perang telah berakhir dan bahwa pemerintah sedang menancapkan kuku di sini. Bahkan orang yang berbicara hendak mengganggu keseimbangan baru itu bisa ditangkap, ujar Ekal, dan dia bercerita tentang seorang pria Nyangatom yang baru-baru ini membual bahwa ia akan menyeberangi sungai untuk mengamuk membunuh suku Kara. Ekal memanggil polisi. Pria itupun dijebloskan ke penjara.

Saat bertemu Dunga beberapa hari setelah perayaan, dia mengatakan pikirannya akhirnya terang. Dia tak ingin terlibat balas dendam. “Bagiku sama saja seperti ular beracun mematuk saudaraku di hutan. Seperti ayahku mati tertabrak mobil. Pembalasan bukanlah jalanku. “

Para tetua suku mendukung keputusannya. Mereka melihat perubahan melanda kawasan itu. Mereka telah mendengar tentang bendungan yang dibangun di hulu dan tentang program yang dilaksanakan pemerintah untuk mengendalikan kebiasaan tertentu. Mereka melihat perangkap tradisi yang menunggu Dunga, perangkap yang mencabut nyawa Kornan. Para tetua menyadari bahwa Dunga kini bukan hanya seorang lelaki yang terjebak dalam perseteruan berdarah—dia sosok berpendidikan yang mewakili rakyatnya, seorang pemimpin masa depan dan teladan. Tenangkan dirimu, ujar mereka kepadanya. Jangan memikirkan balas dendam.

Inilah jawaban yang selalu diharapkan Dunga: dunia lamanya mengakui kekuatan dunianya yang baru. Di samping mendekati pemimpin lama seperti Wangala Bankimaro, baru-baru ini pemerintah menerapkan program untuk menggalakkan hukum dan ketertiban, dengan mendudukkan profesional muda yang baru lulus sebagai pejabat daerah. Setelah lulus, Dunga akan menjadi pengacara yang pertama dari sukunya; ia kemungkinan akan dikirim kembali ke Lembah Omo sebagai hakim atau jaksa pemerintah. Dia sadar bahwa dia akan menjadi semacam misionaris, dan misi pribadinya adalah memodernkan suku Kara dan mempersiapkan mereka untuk masa depan sebagai bagian dari negara Etiopia.

“Harus ada perubahan,” katanya. “Saya mengemban tanggung jawab besar untuk melakukan perubahan besar dalam suku saya. Balas dendam saya adalah menghentikan pembunuhan.”

Beberapa bulan kemudian saya kembali ke Dus dan menemukan kedamaian bertahan. Kekeringan melanda tanah itu, dan suatu hari saya menyaksikan beberapa orang Nyangatom bergalah ke seberang sungai dan meminta bantuan teman mereka dari suku Kara. Orang Kara segera memberi bekas musuh itu beberapa karung gandum.

Tetapi, tidak semua termaafkan. Di desa Kornan, jandanya yang masih muda, Bacha, masih terhantui. Setelah Kornan terbunuh, Bacha berkabung secara tradisional; ia melepas perhiasan, membiarkan rambutnya tumbuh liar, pakaiannya hanyalah kulit kasar. Bacha berkabung selama dua tahun—lebih lama daripada yang diharuskan adat—dia menolak keluar sampai para tetua dan temannya hampir menyeretnya keluar. Dia akhirnya memotong rambut dan mengenakan gelang dan kalungnya lagi, tapi dia belum sembuh. Ada yang hendak meminangnya; ditolaknya. Dia menyimpan banyak harta Kornan—pakaian, manik-manik. Dia menyimpan AK-47-nya.

Satu hari saya bertanya kepadanya tentang senapan. Wajah Bacha menarik, mulus, bentuk matanya seperti almond. Sebuah paku payung besar terpasang di bibir bawahnya. Dia tidak mau berbicara tentang senapan.

“Aku menyimpannya agar anak-anakku nanti melihatnya,” akhirnya dia berkata, sambil memilin tangannya yang kapalan di pangkuannya. “Agar mereka tak asing dengan senapan itu selagi tumbuh dewasa.”

Dia tampaknya tidak terkesan dengan Dunga. Secara teknis Dunga adalah kepala keluarga, tapi Bacha-lah yang menangani urusan sehari-hari, dengan bantuan kedua putranya yang masih kecil, keduanya belum sepuluh tahun.
“Putraku akan tahu bahwa ayahnya dibunuh orang Nyangatom,” ujarnya.

Sebelum meninggalkan Etiopia, aku berhasil menghubungi Dunga yang berada di Jinka, kota perbatasan yang ramai tempat dia belajar di sekolah asrama. Dia sedang memperkenalkan tempat itu kepada keponakannya, anak bungsu Bacha. Ia berencana menyekolahkan anak itu di sana, untuk mengikuti jejaknya. Aku menceritakan ucapan Bacha.
“Dia masih tak bisa melepaskan diri dari pemikiran itu,” ujar Dunga. “Kadang-kadang ketika saya menjelaskan hal itu kepadanya, jawabnya ‘Baiklah’. Tapi perkataan itu tidak keluar dari hatinya. Kadang-kadang tampaknya hanya pembalasan dendam yang akan membahagiakannya.”

Jika tidak dapat membujuk Bacha, ia akan membujuk anak-anaknya, menggunakan keterampilan pengacaranya, semangat misionarisnya.

Sebelum menutup telepon, Dunga berkata dia telah memutuskan bahwa anak sulung Bacha akan tetap di rumah, seperti Kornan dahulu, mengurus ternak, ladang dan urusan keluarga. Dia akan tinggal bersama Bacha dan dibesarkan di antara teman lama ayahnya. Tentu saja dia akan berada di bawah bayangan Kornan sementara waktu. Aku membayangkan wajah Bacha, bentuk rahangnya, ketenangan tatapannya. Ketika anaknya sudah cukup besar, Bacha akan bercerita tentang ayahnya. Kemudian, mungkin, dia akan memberi anaknya senapan ayahnya.

 

 

 

 

 

 

sumber: http://nationalgeographic.co.id/

5 Responses to Ritual dan Balas Dendam Masih Berkuasa di Lembah Omo Etiopia

  1. Dini says:

    masih ada ya yang gituan ??
    nice info

    • linezone says:

      dari kisahnya sih, dari zaman dulu lembah omo etopia tidak pernah dijajah oleh eropa. mungkin karena itu hukum modern tidak berlaku, lebih ke hukum adat yang turun temurun dari nenek monyang..
      makasih dini sudah mau berkomentar 🙂

  2. I have to convey my respect for your kindness supporting those people that have the need for help with in this niche. Your personal commitment to getting the solution up and down came to be certainly informative and has in most cases made many people like me to achieve their desired goals. Your entire important facts entails this much to me and further more to my office colleagues. Thanks a lot; from all of us.

  3. You made some respectable points there. I looked on the internet for the difficulty and located most people will go along with with your website.

Leave a reply to Milagros Wiechec Cancel reply